PENERTIBAN KAWASAN HUTAN TERHADAP PERKEBUNAN SAWIT DALAM KAWASAN TANPA IJIN

Arah kebijakan pada PP No.24/2021 berdasarkan pendekatan “keterlanjuran” dan pendekatan ekonomi dari pengelolaan kebun / pabrik kelapa sawit dalam Kawasan hutan. Meskipun PP No.24/2021 masih berlaku hingga saat ini, Sebaliknya, arah kebijakan pada Perpres No. 5/2025 hingga saat ini nampaknya lebih berfokus pada penguasaan asset (meskipun pada Perpres No. 5/2025 selain pendekatan penguasaan asset dalam kawasan hutan, juga dikenal pemulihan asset dalam kawasan hutan maupun penyelesaian secara administratif). Hal ini terlihat dari kinerja satuan tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) lebih banyak pada pilihan penyelesaian penguasaan asset dalam Kawasan hutan jika dibanding dua opsi penyelesaian lainnya.
PP No.24/2021 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja sehingga dapat dipahami bahwa pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan investasi guna terciptanya lapangan kerja seluas-luasnya sesuai semangat pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja itu sendiri yakni penciptaan iklim investasi yang kondusif guna terbukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya. PP No.24/2021 lebih bernuansa penyelesaian secara administratif karena melaksanakan Pasal 110 A dan Pasal 110 B Undang-Undang Cipta Kerja.
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 (Perpres No. 5/2025) Tentang Penertiban Kawasan Hutan sehingga jika sebelumnya penyelesaian persoalan kebun dan atau pabrik kelapa sawit yang berada dalam Kawasan hutan menggunakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 (PP No.24/2021) Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Cakupan penyelesaian kebun / pabrik kelapa sawit dalam Kawasan hutan pada PP No.24/2021 adalah mengatur lebih lanjut pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan. Adapun substansi norma pengaturan tersebut terdiri atas: 1) inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan; 2) tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan; 3) tata cara pengenaan Sanksi Administratif terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan; 4) tata cara perhitungan Denda Administratif; 5) PNBP yang berasal dari Denda Administratif; dan 6) paksaan pemerintah.
Arah kebijakan pada PP No.24/2021 berdasarkan pendekatan “keterlanjuran” dan pendekatan ekonomi dari pengelolaan kebun / pabrik kelapa sawit dalam Kawasan hutan. Meskipun PP No.24/2021 masih berlaku hingga saat ini, Sebaliknya, arah kebijakan pada Perpres No. 5/2025 hingga saat ini nampaknya lebih berfokus pada penguasaan asset (meskipun pada Perpres No. 5/2025 selain pendekatan penguasaan asset dalam kawasan hutan, juga dikenal pemulihan asset dalam kawasan hutan maupun penyelesaian secara administratif). Hal ini terlihat dari kinerja satuan tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) lebih banyak pada pilihan penyelesaian penguasaan asset dalam Kawasan hutan jika dibanding dua opsi penyelesaian lainnya.
Hingga saat ini masih banyak Perusahaan kelapa sawit yang berproses melalui mekanisme keterlanjuran sesuai Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja dengan aturan pelaksanaan sesuai PP No.24/2021. Bahkan, sudah beberapa tahap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (nama pada nomenklatur kabinet Presiden Joko Widodo) telah memberi pemutihan atas keterlanjuran penggunaan kawasan hutan berdasarkan denda administratif dan denda tersebut dibayar pada kas negara. Adapun pada PP No.24/2021 verifikasi dan penentuan besaran denda administratif tersebut dilakukan oleh tim terpadu (Timdu yang dipimpin oleh jajaran KLHK).
Selanjutnya terdapat ketidaksesuaian mekanisme verifikasi dan penentuan besaran denda administratif tersebut dilakukan oleh tim terpadu KLHK sehingga atas hal tersebut diduga merugikan negara dan saat ini sedang diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Perpres No. 5/2025 diterbitkan pada kondisi belum terselesaikannya verifikasi dan penentuan besaran denda administratif tersebut dilakukan oleh tim terpadu oleh seluruh pemohon berdasarkan Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja dengan aturan pelaksanaan sesuai PP No.24/2021 sehingga kondisi juga dapat berpotensi mengganggu iklim investasi di bidang industry kelapa sawit, hal ini penting untuk menjadi perhatian karena sektor industri kelapa sawit merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar di Indonesia.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pendekatan penyelesaian menurut Perpres No. 5/2025 lebih berorientasi pada penguasaan asset dalam Kawasan hutan oleh negara sehingga tidak terdapat kesinambungan aturan dengan PP No.24/2021 yang lebih mengutamakan penyelesaian secara administratif. Orientasi penguasaan asset dalam Kawasan hutan sangat merugikan investor mengingat di Indonesia sendiri status Kawasan hutan dan non hutan sering kali berubah disamping tidak adanya kebijakan satu peta terpadu yang berlaku antar instansi.
BUMN Perkebunan
Melalui aksi korporasi pada kwartal I 2025 Pemerintah juga baru saja membentuk Badan Usaha Milik Negara sektor Perkebunan, yakni PT Agrinas Palma Nusantara. Saat ini salah satu tugas yang diberikan pada Agrinas adalah pengelolaan asset sitaan aparat penegak hukum dalam hal ini termasuk penguasaan asset dalam Kawasan hutan oleh negara yang dilakukan oleh Satgas PKH bentukan Perpres No. 5/2025.
Dalam hal ini dapat dikatakan tugas PT Agrinas Palma Nusantara tidak mudah karena industri Perkebunan kelapa sawit adalah industri dengan asset biologis (biological asset) yang memerlukan perawatan, pupuk, panen secara intensif demi menghindari penyusutan dan kerusakan asset pada perkebunan kelapa sawit tersebut. Persoalannya dalam hal ini adalah asset yang dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara masih banyak yang sedang dalam proses hukum sehingga statusnya belum pasti secara hukum.
Artinya masih terdapat kemungkinan jika di kemudian hari asset Perkebunan tersebut dinyatakan kembali pada pemilik awalnya maka persoalannya adalah bagaimana dengan hasil yang diperoleh oleh kebun / pabrik kelapa sawit tersebut selama dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara. Demikian juga sebaliknya, perlu menjadi catatan terkait biaya investasi yang dikeluarkan PT Agrinas Palma Nusantara saat mengelola asset Perkebunan /pabrik kelapa sawit yang masih berstatus titipan Satgas PKH atau sitaan aparat penegak hukum.
Hal lainnya yang perlu menjadi catatan dalam pengelolaan asset oleh PT Agrinas Palma Nusantara adalah sejauh mana PT Agrinas Palma Nusantara dapat membuat keputusan dan menuangkannya dalam perjanjian terhadap pihak ketiga, mengingat PT Agrinas Palma Nusantara bukanlah pihak dalam kesepakatan / perjanjian pada awalnya. Komplikasi ini dimungkinkan mengingat pada industri kelapa sawit melibatkan banyak pemangku kepentingan yang terikat dalam perjanjian seperti misalnya koperasi plasma, koperasi kemitraan masyarakat, perjanjian kredit dengan perbankan yang pelaksanaannya sangat bergantung pada operasionalisasi Perkebunan /pabrik kelapa sawit yang masih berstatus titipan Satgas PKH atau sitaan aparat penegak hukum oleh PT Agrinas Palma Nusantara.
Dalam hal ini guna meminimalisir potensi resiko hukum PT Agrinas Palma Nusantara maka aparat penegak hukum maupun satgas PKH perlu mengedepankan kehati-hatian dalam melakukan penyitaan maupun penguasaan asset dalam Kawasan hutan oleh negara oleh Satgas PKH bentukan Perpres No. 5/2025. Terakhir secara regulasi perlu untuk dilakukan harmonisasi regulasi guna penataan kebun/pabrik kelapa sawit dalam Kawasan hutan, khususnya antara Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja dengan aturan pelaksanaan sesuai PP No.24/2021 dan Perpres No. 5/2025.